SPACE AVAILABLE!!!       Telp: "0822-3131-4900"

Apa Tugas Manusia Sebagai Khalifah Di Bumi?

Jangan Lupakan Tugasmu Sebagai manusia!

Seseorang berkata: "Ada sesuatu yang telah aku lupakan", Jalaluddin Rumi menjawab: Ada sesuatu di dunia ini yang tidak boleh dilupakan. Jika kamu melupakan sesuatu yang lain, tetapi tidak melupakan yang satu ini, maka kamu tidak perlu cemas. Tetapi jika kamu melakukan dan mengingat segala yang lain, tetapi melupakan yang satu ini, maka kamu sesungguhnya kamu tidak melakukan apapun yang berharga.


Tugas manusia di bumi


Ibaratnya ketika seseorang Raja mengirimmu ke suatu negeri untuk menjalankan tugas khusus. Jika kamu pergi dan menyelesaikan seratus tugas yang lain, namun kamu lupa melakukan tugas yang khusus itu, maka ini seolah-olah kamu tidak melakukan apa-apa. Jadi, setiap orang memasuki dunia ini demi sebuah tugas khusus, dan itulah tujuan hidup mereka di dunia. Jika mereka tidak melaksanakannya maka mereka sesungguhnya tidak melakukan apa-apa.


Segala sesuatu dibebani sebuah tugas. Langit mengirim hujan dan cahaya untuk hamparan padang agar bersemi dan tumbuh hidup. Bumi menerima benih dan melahirkan buah-buahan, ia menerima dan mengungkapkan seratus ribu keajaiban yang terlampau banyak untuk diceritakan. Gunung-gunung menjaga tambang-tambang emas dan perak. Semua benda ini, langit, bumi dan gunung bekerja, namun tidak melakukan satu hal itu: tugas khusus itu kita yang melakukan.


"Kami menawarkan kepercayaan kepada langit-langit, bumi dan gunung-gunung, mereka semua menolak untuk melakukannya dan takut akannya, tetapi manusia melaksanakannya. Sungguh mereka bodoh dan berlumur dosa."


Tugas Kita Sebagai Manusia Di Bumi ini.

Jadi, manusia diberi sebuah tugas, dan ketika mereka melaksanakannya semua dosa dan kebodohan lenyap.


Kamu berkata, "Lihatlah semua kerja yang kulaksanakan, sekalipun aku tidak melakukan tugas itu," Kamu tidak diciptakan untuk tugas-tugas yang lain itu! Ini seolah-olah kamu diberi sebilah pedang baja india yang tiada tara, yang hanya bisa ditemukan dalam harta benda raja-raja, dan kamu memperlakukannya sebagai pisau jagal untuk memotong-motong daging, seraya berkata "Tak akan ku biarkan pedang ini berdiri begitu saja, aku akan menggunakannya dengan banyak cara yang berfaedah." 


Atau ini seperti mengambil mangkuk emas yang murni untuk memasak lobak-lobak cina, padahal secuil saja emas itu dapat dibelikan seratus pot lobak. Atau ini seolah-olah kamu mengambil sebuah palang damascene yang paling indah untuk menggantung sebuah labu yang pecah, seraya berkata: "Aku sedang memanfaatkannya. Aku sedang menggantung sebuah labu diatasnya. Aku tidak akan membiarkan palang ini sia-sia." Betapa bodohnya! labu dapat menggantung dengan sempurna diatas sebuah paku kayu atau besi yang nilainya lebih rendah, jadi mengapa harus menggunakan sebuah palang yang bernilai seratus pound?


Seorang pujangga pernah bertutur:

Engkau lebih mulia dari langit dan bumi.

Apa yang perlu aku katakan lagi?

Engkau tidak tahu nilaimu sendiri.


Tuhan Berkata, "Aku kan membelimu... masamu, nafasmu, hartamu, hidupmu. Habiskan semua itu kepada-Ku. Palingkan semua itu kepada-Ku, dan Kubayar dengan kebebasan, keagungan dan kearifan illahi. Inilah hargamu dimata-Ku." Tetapi jika kita menjalani hidup demi diri sendiri, maka kita kehilangan harta-harta yang telah dianugerahkan kepada kita. Seperti seseorang yang menancapkan palang itu,  yang bernilai seratus pound ke dinding untuk menggantung sebuah labu, harta berharga mereka hanya senilai sebuah paku.


Sudah Merasa Telah Melakukan Banyak Tugas?

Masih saja kamu menawarkan alasan yang lain, dengan berkata: "Tetapi aku mengabdikan diri kepada banyak sekali pada tugas yang mulia. Aku belajar hukum, filsafat, logika, astronomi, kedokteran dan lain-lain."


Baiklah, demi siapa sesungguhnya kamu melaksanakan tugas-tugas itu? Jika ia hukum, tak seorang pun mampu mencuri seiris roti darimu, menelanjangimu, atau membunuhmu. Pendeknya, ini demi keselamatanmu sendiri. Jika ia astronomi, fase-fase langit dan pengaruh mereka terhadap bumi, baik ringan atau berat, yang menandakan kesentosaan atau bahaya, semua ini berkenaan dengan keadaanmu sendiri, untuk melayani tujuan-tujuanmu sendiri. Jika ia kedokteran, ia berhubungan dengan kesehatanmu sendiri dan juga melayanimu sendiri. Ketika kamu memikirkan hal ini masak-masak, akar dari semua studimu adalah dirimu sendiri. Semua tugas mulia ini tidak lain hanyalah cabang-cabang darimu.


Jika pokok persoalan ini  dipenuhi dengan begitu banyak keajaiban dan dunia ilmu tanpa akhir, pikirkan dunia-dunia apa yang kamu lalui yang adalah akar itu! Jika cabang-cabangmu memiliki memiliki hukum mereka, kedokteran mereka, sejarah mereka, pikirkan tentang apa yang bergerak dalam dirimu yang adalah sumber itu; hukum-hukum spiritual dan obat-obatan spiritual apa yang mempengaruhi masa depan dan nasib jiwamu, sejarah-sejarah apa yang mengungkapkan perjuangan-perjuangan hati!


Bagi jiwa ada makanan lain disamping makanan tidur dan makan, tetapi kamu telah melupakan makanan lain itu. siang dan malam kamu hanya merawat tubuhmu. Sekarang tubuh ini seperti seekor kuda, dan dunia rendahan ini adalah kandangnya. Makanan yang dimakan kuda bukan makanan penunggangnya. Kamu adalah penunggang yang memiliki tidur dan makan sendiri, kesenanganmu sendiri. Tetapi karena hewan memiliki tangan yang lebih tinggi, kamu ketinggalan di belakang kandang kuda. Kamu tidak dapat ditemukan di antara lingkaran para raja dan pangeran di dalam dunia abadi. Hatimu di sana, tetapi tubuhmu memiliki tangan yang lebih tinggi, kamu tunduk pada aturan dan masih menjadi tawanannya.


Cinta Mampu Membuat Seseorang Lupa Dengan Tugasnya.

Ketika Majnun, seperti hikayat mengatakan, sedang melakukan perjalanan untuk kekasihnya Laila, sepanjang jalan dia benar-benar sadar dia mendorong untanya ke arah itu. Tetapi ketika sesaat dia khusyuk mengingat Laila dan melupakan untanya, unta itu menelusuri jalan kembali ke desa dimana anak unta itu disimpan. Menyadari keadaan ini, Majnun mendapati bahwa dia telah mundur ke belakang dua hari perjalanan. Selama tiga bulan dia mengambil jalan ini, yang tidak semakin dekat dengan tujuannya. Akhirnya dia melompat dari untanya dan berkata: "Unta ini adalah kehancuranku!" dan kemudian berjalan kaki dan bernyanyi:


Hasrat untaku sekarang telah kutinggalkan di belakang,

Hasratku sendiri ada di depan.

Tujuan kita sudah berbeda,

Kita tidak lagi sepakat.


Burhanuddin pernah disapa seseorang, yang berkata, "Telah aku dengar pujian-pujian tentangmu yang dinyanyikan oleh para sahabat." Burhanuddin menjawab, "Tunggulah sampai aku bertemu shabat-sahabatmu untuk melihat apakah mereka cukup mengenalku untuk memujiku. Jika mereka hanya mengenalku lewat perkataan mulut, maka mereka sesungguhnya tidak mengenalku. Karena kata-kata tidak abadi. Suku kata dan suara tidak abadi. Tubuh ini, bibir ini, mulut ini tidak akan abadi. semua ini hanyalah barang sementara. Tetapi jika mereka mengenalku lewat karya-karyaku, dan mereka mengenal kehidupan ruhaniku, maka aku tau mereka mampu memujiku, dan pujian itu akan abadi."


Ini seperti cerita yang mereka kisahkan tentang seorang raja. Raja ini mempercayakan anaknya kepada sebuah tim mahasiswa terdidik. Selama perjalanan, mereka mengajari sang anak ilmu-ilmu astrologi, geomanci, dan tafsir tanda-tanda, sampai dia menjadi seorang guru yang sempurna, alih-alih kebodohan dan keculunannya tampak nyata.


Suatu hari raja mencopot sebuah cicin dari jemarinya dan menguji anaknya.


"Datanglah ke sini, ceritakan kepadaku apa yang ada dalam genggamanku."

"Apa yang ayah genggam berbentuk bundar, kuning, tertulis dan berlubang," jawab sang pangeran.

"Kamu telah memberikan tanda-tandanya dengan benar," kata raja. "Sekarang katakan apa benda itu."

"Pastilah sebuah pengayak," jawab pangeran.

"Apa?" Teriak raja. "Kamu mengetahui semua detailnya, yang akan mengherankan benak banyak orang. Bagaimana ini bisa keluar dari pengetahuan dan belajarmu yang begitu kuat, benda kecil ini bisa lepas dari pandanganmu bahwa sebuah pengayak tidak akan cukup dalam genggaman?"


Dengan cara yang sama, cendekiawan-cendekiawan besar di masanya memilah-milah segala sesuatu secara terperinci. Mereka mengetahui dengan sempurna ilmu-ilmu yang sama sekali tidak menarik perhatian Jiwa. Tetapi sesungguhnya apa yang benar-benar penting dan menyentuh kita lebih dekat daripada semua hal lain, yakni ke-Aku-an kita sendiri, tidaklah diketahui oleh cendekiawan ini. Mereka membuat pernyataan tentang segala hal, seraya berkata, "Ini benar adanya dan itu tidak benar. Ini yang hak dan itu yang batil." Tetapi mereka tidak mengenal ke-Aku-an mereka sendiri, apakah sejati atau palsu, murni atau tak murni.


Sekarang dengan berlubang dan berwarna kuning, tertulis dan melingkar, bentuk-bentuk ini hanyalah sementara; buanglah cincin itu kedalam api dan tak secuilpun yang tersisa. Ia menjadi dzatnya yang sejati, yang termurnikan dari semua penampakan. Jadi dengan ilmu cendekiawan inilah: apa yang mereka ketahui tidak ada hubungannya dengan kenyataan esensial yang ada ketika semua "tanda" yang lain lenyap. Mereka berbicara dengan bijak, mengutarakannya panjang lebar, dan akhirnya menyebutkan bahwa apa yang ada dalam genggaman raja adalah sebuah pengayak. Mereka tidak tau apa-apa tentang akar masalahnya: tujuan hidup.


Aku adalah seekor burung. Aku adalah seekor bul-bul. Jika mereka berkata kepadaku, "Buatlah jenis suara yang lain," aku tidak bisa. Lidahku memang sudah demikian. Aku tidak berbicara selain itu. Akan tetapi, mereka yang belajar lagu-lagu burung bukanlah burung itu sendiri. Sebaliknya, mereka adalah musuh-musuh burung dan penangkap mereka. Mereka bernyanyi dan bersiul  dengan nada lain untuk mengambil burung itu. Suruhlah mereka untuk membuat suara yang lain dan mereka akan melakukannya, karena suara itu hanya dibuat oleh mereka. Suara itu sesungguhnya bukan suara mereka. Seperti para cendekiawan, mereka mampu menyanyikan lagu-lagu yang lain karena mereka telah belajar untuk merampok lagu-lagu itu, dan untuk memamerkan sebuah nada lain yang dicuri dari setiap jantung.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama