SPACE AVAILABLE!!!       Telp: "0822-3131-4900"

Filosofi Mudik Lebaran Tradisi Masyarakat Pulau Jawa

Ramdahan Yang Selalu Dirindukan.

Artikel ini ditulis saat bulan ramadhan, bulan dimana kita menjalani ibadah puasa Ramdahan. Tahun ini (1442 Hijriah/2021 Masehi). Bulan suci bagi umat Islam akan segera meninggalkan kita, ada perasaan bahagia sebab sebentar lagi kita akan bertemu dengan Hari Raya Idul Fitri. Yah, kita harus bersuka cita atas karunia dan keutamaan yang telah Allah berikan kepada kita untuk menyambut datangnya Hari Istemewa tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah Berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya: Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus [10]: 58)

Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dua orang budak wanita bernyanyi menyenandungkan syair-syair hari Bu`ats pada hari raya `ied. Abu Bakar pun marah dan mengingkari perbuatan dua budak wanita tersebut. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.” (HR Bukhari no: 939, 952 dan Muslim no: 892)

“Dalam hadis tersebut terdapat dalil anjuran menampakkan kebahagiaan dan sebab-sebab yang mendatangkannya pada hari raya.” (Ikmaal al Mu’lim 3/307, dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, 1/410)

Tradisi jawa mudik lebaran


Tradisi Mudik Lebaran/Pulang Kampung Di Indonesia.

Dahulu antara mudik dan lebaran tidak memiliki kaitan satu sama lain. Dalam bahasa Jawa ngoko, Mudik berarti ‘Mulih dilik’ yang berarti pulang sebentar saja. Namun kini, pengertian Mudik dikaitkan dengan kata ‘Udik’  yang artinya kampung, desa atau lokasi yang menunjukan antonim dari kota. Lantas pengertian ini ditambah menjadi ‘Mulih Udik’ yang artinya kembali ke kampung atau desa saat lebaran.

Sebenarnya tradisi mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah berjalan sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit.  Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Hal ini dilakukan untuk meminta keselamatan dalam mencari rezeki.

Namun istilah mudik lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970-an. Saat itu Jakarta sebagai ibukota Indonesia tampil menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat. Saat itu sistem pemerintahan Indonesia tersentral di sana dan ibukota negara melesat dengan berbagai kemajuannya dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air.

Hal ini terus berlanjut dan semakin berakar ketika banyak urbanis yang mencoba peruntungannya di kota. Tidak hanya di Jakarta, tradisi perpindahan penduduk dari desa ke kota juga terjadi di ibukota provinsi lainnya di Indonesia. Terlebih dengan diterapkan otonomi daerah pada tahun 2000, maka orang semakin banyak mencari peruntungan di kota.
Sama seperti halnya di Surabaya, mereka yang bekerja di kota hanya bisa pulang ke kampung halaman pada saat liburan panjang yakni saat libur lebaran. Sehingga momentum ini meluas dan terlihat begitu berkembang menjadi sebuah fenomena.
Media juga memiliki andil besar dalam mem-branding kegiatan pulang kampung ini menjadi sebuah tradisi wajib saat lebaran.  Dengan adanya program perusahaan dan pemerintah yang memudahkan kegiatan pulang kampung, tradisi ini pun semakin berakar.

Renungan "Ramadahan Tahun Ini Bisa Jadi Yang Terakhir Untuk Kita."

Selain perasaan suka cita dalam menyambut datangnya Hari raya, terselip rasa sedih yang mendalam dalam diri ini. Perasaan khawatir jangan-jangan bulan puasa tahun ini adalah yang terakhir bagi saya. Bila iya, betapa saya akan merugi karena melewatinya begitu saja tanpa memperbanyak amal shaleh di bulan dimana Tuhan melipat gandakan segala perbuatan baik kita, dan bulan dimana pintu langit terbuka begitu luas untuk menampung doa-doa kita (orang-orang yang perpuasa). Saya terus saja menyibukkan diri dengan urusan duniawi, memang kita hidup di dunia ini juga memerlukan kebutuhan duniawi seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya. Namun bila dibandingkan dengan begitu banyak keistimewaan yang Allah berikan di bulan Ramadhan ini, maka akan lebih beruntung bagi saya ketika bisa melonggarkan beberapa aktivitas keduniawian saya dan lebih mementingkan urusan Ukhrawi saya sebab menurut saya itu akan lebih baik kelak ketika saya telah menghadap sang Illahi Robbi.


Benar memang, atara mencari kebahagiaan duniawi dan ukhrawi itu harus seimbang dan juga sejalan. Tetapi, akan menjadi kebahagiaan tersendiri dalam diri saya ketika dapat memprioritaskan kepentingan akhirat daripada dunia. Kebahagiaan dunia ini semu sedang di Akhiratlah kebahagiaan itu akan abadi.

Sebagaimana dikutip dari pendapat Al-Attas dan Al-Kindi, Ibnu Thufail secara lebih tegas lagi mengemukakan pendapatnya mengenai kebahagiaan hakiki tersebut. Ia menyatakan bahwa kebahagiaan terbesar adalah melihat wajib al-wujud, pencipta segala yang ada, yakni Allah Subhanahu Wata’ala, yang kesempurnaan-Nya tidak berakhir, dan keindahan-Nya tidak berujung. Dialah di atas segala kesempurnaan dan keindahan. Semua kesempurnaan dan keindahan di dalam wujud bersumber dari-Nya dan terpancar dari sisi-Nya. (baca: Hayy bin Yaqdzan). Tegasnya, bahwa terdapat pertalian yang sangat erat antara kebahagiaan hakiki dengan iman atau keyakinan seseorang. Sehingga disebutkan dalam rumusan Al-Attas bahwa iman di sini merujuk kepada ‘perjanjian azali’ yang telah dimaterai oleh manusia dengan penciptanya pada Hari Alastu sebagaimana yang telah diabadikan dalam al-Qur’an, surat al-A’raf, 7:172.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”

Akhir dari renungan saya kali ini berharap semoga saya dan juga anda semua diberi lagi kesempatan untuk bertemu Bulan istimewa yakni Bulan Ramdhan dimasa yang akan datang, tentunya untuk memperbaiki dan menambah amalan-amalan baik kita yang mungkin dirasa masih kurang di Ramadhan tahun ini. Selamat tinggal Ramadhan, semoga kita bertemu lagi dan menyambut kedatanganmu dengan rindu yang menggebu.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama